RSS

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

petani miskin menjinakan raksasa sawit

Petani Miskin Menjinakkan Raksasa Sawit Melalui Koperasi Pertanian Agroekologi
Senin, 04 April 2011 12:29 | Ditulis oleh WITORO | PDF | Cetak | Surel

Kebutuhan pangan 230 juta penduduk Indonesia selama ini ditopang oleh jutaan keluarga petani kecil produsen pangan. Para petani mengelola sumberdaya lokal dengan mengkombinasikan budi daya tanaman pangan dan tanaman perdagangan serta ternak. Pola yang ini dikembangkan dari generasi ke generasi ini terbukti berhasil memenuhi kebutuhan pangan sendiri dan pendapatan keluarga, serta menjaga kelestarian lingkungan. Sekitar 25 juta rumah tangga petani Indonesia setiap tahunnya memproduksi pangan, meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar dengan nilai sekitar Rp 258,2 triliun (Kompas, 2010).

Keberadaan dan peran produsen pangan skala kecil ini terancam oleh liberalisasi perdagangan dan berkembangnya agro industri yang dikuasai perusahaan-perusahaan besar. Liberalisasi perdagangan juga juga terjadi di sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit. Pemerintah berambisi untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil minyak sawit nomer satu (1) di dunia. Untuk itu, luas perkebunana sawit akan ditingkatkan agar memiliki luas kebun sawit terbesar di dunia. Pemerintah kemudian mendorong agro industri untuk mewujudkan ambisi itu dengan menempatkan perkebunan sawit swasta sebagai ujung tombaknya.

Proses integrasi Indonesia ke dalam pasar dunia serta perkembangan perusahaan pertanian yang semakin pesat membuat petani kecil dan buruh tani semakin terpinggirkan dan rentan. Perluasan lahan kelapa sawit yang dilakukan tanpa kendali juga dipastikan semakin mengancam keberlanjutan usaha jutaan keluarga petani produsen pangan skala kecil dan kedaulatan pangan nasional.

Liberalisasi Perdagangan dan Ketergantungan Pangan Impor

Liberalisasi perdagangan merupakan persoalan sangat penting, karena pangan yang merupakan hak asasi menjadi bagiannya. Pangan yang merupakan mata pencaharian jutaan keluarga petani kecil, kebutuhan pokok dan hak asasi manusia kemudian diubah menjadi komoditas atau barang perdagangan. Peran jutaan keluarga petani kemudian digantikan oleh segelintir perusahaan raksasa yang menguasai seluruh mata rantai pangan, mulai benih, pupuk, pestisida – bahkan lahan-lahan, pengolahan hingga pasar.

Globalisasi pangan memungkinkan perusahaan transnasional pertanian-pangan memperluas investasi, produksi dan pemasaran produk pangan ke Negara-Negara Sedang Berkembang. Kekuasaan yang semakin besar memungkinkan mereka menguasai pangan dunia dan menggusur peran jutaan petani kecil yang sebelumnya menjadi pelaku mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan nasional.

Negara maju menekan negara berkembang untuk membuka pasarnya, tetapi mereka tetap memberikan subsidi tinggi kepada para petaninya sekaligus menerapkan berbagai bentuk proteksi baru di pasar domestik mereka. Liberalisasi perdagangan ini kemudian menyebabkan impor pangan negara-negara sedang berkembang semakin meningkat, sementara ekspor mereka tidak bertambah.

Pada tahun 1995-1997, ekspor negara-negara berkembang ke pasar dunia hanya 26 persen dari total perdagangan pada tahun 1995-1997, kira-kira jumlahnya sama dengan tahun 1980. Sementara jumlah impor negara-negara berkembang yang hanya 28 persen pada tahun 1970-an meningkat menjadi 37 persen pada tahun 1997. Saat ini, sekitar 70 persen negara sedang berkembang merupakan pengimpor pangan. Sementara jumlah penduduk kelaparan lebih dari 850 juta orang, dan ironisnya 80% dari mereka adalah petani kecil.

Indonesia yang sebelumnya merupakan eksportir pangan kemudian secara bertahap menjadi improtir pangan. Pada periode 1989-91, Indonesia merupakan pengekspor pangan (net exporter) dengan nilai sekitar US$ 418 juta/tahun. Namun sejak 1994, Indonesia beralih menjadi net food importer. Pada periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan (net importer) sekitar US$ 863 juta/tahun. Neraca perdagangan pangan, hortikultura, dan peternakan Indonesia tahun 2008 mengalami defisit 4.859.038 US$, atau meningkat 2.165.885 US$ dibanding tahun 2005 yang berjumlah 2.693.153 US$.

Petani Kecil Tergusur Perluasan Kebun Sawit

Produsen pangan skala kecil, baik buruh tani maupun petani kecil sering dianggap tidak produktif karena hanya mengelola lahan berskala kecil dengan teknik bertani sederhana. Dengan alasan itu, mereka hampir tidak pernah mendapat dukungan dan memiliki akses terhadap berbagai layanan program dari pemerintah. Kebijakan pemerintah memang lebih berorientasi produksi dan menempatkan agro industri sebagai ujung tombak, karena dianggap lebih efisien dan dengan cepat meningkatkan produksi pangan.

Liberalisasi perdagangan mendorong petani untuk memproduksi tanaman perdagangan untu perusahaan transnasionaol dan membeli pangan dari pasar. Sejak 20-30 tahun lalu World Bank dan International Monetary Fund (IMF) and khususnya WTO menekan Negara-negara sedang berkembang untuk mengurangi investasi di sector produksi pangan dan menurunkan dukungan subsidi kepada buruh tani dan petani kecil.

Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional (APBN) Indonesia saat ini untuk sektor pertanian hanya sekitar 1% dari total APBN yang mencapai 1.200 triliun. Total belanja pemerintah baik APBN maupun APBD sekitar Rp 10-12 triliun, termasuk di dalamnya komponen gaji pegawai, biaya pemeliharaan, biaya operasional. Menurut Wakil Menteri Pertanian, anggaran pemerintah untuk investasi di sektor pertanian hanya 20% atau sekitar Rp 3 triliun.

Berbeda dengan nasib produsen pangan skala kecil, perusahan swasta sawit mendapat dukungan kebijakan dan fasilitas yang besar dari Pemerintah maupun investor. Dalam proyek perluasan lahan kelapa sawit nasional 2005 – 2010, misalnya, pemerintah menganggarkan sekitar Rp 5,5 trilyun (US$567 juta) untuk jangka waktu lima tahun. Demikian juga dalam proyek Merauke Integrated Food and Enenergy Esatate (MIFEE), pemerintah menganggarkan sekitar US $ 3 juta untuk investasi infrastruktur dan dan diperkirakan masih akan mengundang investor swasta (lokal dan asing) lebih dari US $ 60 juta. Proyek MIFEE akan mengambil lahan kawasan hutan dan lahan masyarakat adat seluas 1,6 juta Ha untuk dibagi kepada 32 perusahan.

Kebijakan yang bias agroindustri ini menyebabkan semakin menguatnya perusahaan perkebunan kelapa sawit da semakin melemahkan para petani kecil. Perusahan-perusahaan swasta perkebunan kelapa sawit ini selama ini telah tidak hanya melakukan privatisasi perkebunan-perkebunan kelapa sawit milik pemerintah tetapi juga melakukan pengembangan wilayah perkebunan yang baru. Sektor swasta ini terdiri dari perusahaan nasional yang mendapatkan dana segar dari investor internasional. Menurut cartatan Sawit Wach, sekitar 50% dari luas areal perusahaan perkebunan sawit – sekitar 7,8 juta ha di Indonesia adalah milik asing, antara lain dari Malaysia, Singapura, AS, Inggris, dan Belgia.

Perluasan lahan perkebunan sawit secara nyata berdampak negatif terhadap sistem pangan lokal serta melemahnya kedaulatan pangan komunitas local. Kajian yang dilakukan Meri Orth di Kalimantan Tengah (2007) memberi gambaran yang jelas tentang dampak perkebunan kelapa sawit terhadap kedaulatan pangan komunitas local. Beberapa poin yang disimpulkan dari kajian ini antara lain : (1) berkurangnya hutan sebagai sumber produksi pangan, (2) merosotnya luas lahan produksi pangan karena konversi, (3) menurunnya kesuburan tanah dan ketersediaan air, (4) menurunnya persentase petani yang membudidayakan tanaman pangan (padi), (5) meningkatnya jumlah penduduk yang mendapat bantuan Raskin, (6) meningkatnya pengeluaran untuk membeli pangan, dan (7) menurunnya jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi.

Tiadanya perlindungan dari serbuan pasar pangan dan dukungan untuk mengembangkan usaha tani anake tanaman, para petani kecil tetap berada pada kondisi yang lemah (powerless) dalam mengakses lahan, informasi, modal, sarana produksi pertanian, pengolahan, pemasaran, dan sebagainya. Meskipun mereka telah mengembangkan pola nafkah ganda, kondisi kehidupan buruh tani tidak mengalami perubahan dan identik dengan kemiskinan dan rawan pangan di desa. Penduduk miskin Indonesia tahun 2009 sebesar 32,5 juta jiwa (14,1 persen) dan jumlah penduduk rawan pangan sekitar 11% atau sekitar 25,4 juta orang. Sebagian besar dari mereka berada di pedesaan yang bekerja sebagai buruh tani dan petani kecil.

Pertanian Agro-ekologi Sebagai Alternatif

Selama ini banyak orang beranggapan bahwa usaha tani keluarga skala kecil itu terbelakang dan tidak produktif. Namun kajian yang dilakukan beberapa waktu terakhir menunjukkan sebaliknya. Pertanian skala kecil jauh lebih produktif dibandingkan pertanian skala besar, di mana hasil total aneka tanaman lebih besar 20-60% dibanding pola monokultur. Sistem tumpangsari tradisional menghasilkan sekitar 20 % ketersediaan pangan dunia. Dengan mengelola sumberdaya yang terbatas dengan intensif, petani kecil memperoleh keuntungan yang lebih banyak. Selain itu, pertanian terpadu juga menghasilkan lebih banyak bahan pangan. (Altieiri, 2009)

Dengan alasan tersebut, para ahli yang hadir dalam pertemuan internasional mengenai “Kontribusi Pendekatan Agroekologi untuk Memenuhi Kebutuhan Pangan Global 2050” di Brussels 21-22 Juni 2010 mendesak masyarakat internasional untuk memikirkan kembali kebijakan-kebijakan pertanian saat ini dan membangun potensi agroekologi. Pendekatan-pendekatan pertanian agroekologi meliputi agroforestri, pengendalian hayati, metode pemanenan air, tumpang sari, tumbuhan penutup pupuk hijau, tanaman campuran dan manajemen peternakan.

Produktifitas tumpang sari juga jauh lebih tinggi dari sistem revolusi hijau, karena menghasilkan panen yang lebih beragam. Petani juga akan mendapatkan pendapatan yang lebih panjang dan banyak karena umur panen tidak hanya musiman. Selain itu, tumpang sari mampu meningkatkan resapan air sehingga dapat menghindari banjir dan penguapan berlebih. Resiko kerusakan tanaman akibat badai juga dapat diminimalisir dengan menanam pokok-pokok pohon di antara tanaman panganh-tumbuhan penutup, pupuk hijau, tanaman campuran dan manajemen peternakan.

Dalam pertemuan itu, Reporter Khusus PBB utuk Hak Atas Pangan, Olivier De Schutter medesak Pemerintah dan lembaga-lembaga internasional untuk mengembangkan teknik-teknik pertanian ekologis demi meningkatkan produksi pangan dan menurunkan resiko dampak perubahan iklim. Pengembangan teknik pertanian berkelanjutan ini secara cepat dapat membantu para petani miskin untuk meningkatkan produksi dan pendapatan serta memenuhi kebutuhan pangan satu milyar penduduk dunia yang kelaparan.

Pertanian agroekologi lebih unggul dibandingkan pertanian konvensional. Pertama, agroekologi tidak memerlukan pupuk kimia, tetapi pupuk kompos. Pemakaian pupuk kompos akan mendorong berkembangnya peternakan rakyat. Kedua, setiap satuan lahan agroekologi terdapat tanaman tumpangsari yang memungkinkan adanya iklim mikro yang cocok untuk pertumbuhan tanaman dan interaksi mikroorganisme di permukaan dan dalam tanah. Ketiga, agroekologi mengoptimalkan pemakaian benih-benih lokal dan diversitas mikroorganisme efektif yang sesuai dengan kondisi lokal. Keempat, kesuksesan model agroekologi di banyak negara, karena menggunakan bahan-bahan yang diperoleh secara lokal dan murah. Kelima, aspek paling penting dari agroekologi adalah menempatkan petani kecil sebagai sentral dalam sistem pangan. Dengan beragroekologi, manfaat ekonomi dari setiap aspek pangan dinikmati oleh petani secara langsung seperti untuk produksi benih, pupuk, hingga panen.

Gerakan Sosial-Ekonomi Petani Miskin melalui Pertanian Kooperatif

Pertanian kooperatif merupakan salah satu solusi bagi petani miskin untuk menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal yang semakin besar. Melalui pertanian kooperatif ini akan terwujud peningkatan perputaran keuangan, pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, jaminan aneka pangan yang segar dan sehat, serta menjamin kehidupan yang layak bagi keluarga petani kecil dan komunitas lokal.

Koperasi merupakan organisasi atau badan usaha yang cocok sebagai wadah bagi petani dan sesuai dengan konstitusi. Cooperative Farming (CF) merupakan kritik terhadap konsep Rice Estate dan Corporate Farming yang saat ini dikembangkan oleh pemerintah. Rice Estate dan Corporate Farming dinilai lebih berorientasi utama mengejar keuntungan bagi pemilik serta gagal untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Sementara CF dirasakan oleh petani lebih adil, humanis dan demokratis. Namun secara pragmatis, konsep CF lahir sebagai wujud koreksi dari para praktisi terutama para petani yang telah mencoba menerapkan konsep Rice Estate dan Corporate Farming. (Setiawan, 2008)

Pertanian kooperatif (PK) diharapkan pemecah kebuntuan gerakan reforma agraria yang merupakan prasyarat utama bagi suksesnya pembangunan pertanian dan kedaulatan pangan. Para petani tanpa lahan dan petani kecil mengintegrasikan lahan-lahan yang sempit dan terfragmentasi di wilayah mereka dalam suatu sistem manajemen usaha kooperatif secara terpadu. Mereka juga mekonsolidasikan manajemen usaha pada hamparan lahan yang memenuhi skala usaha.

Melalui koperasi para buruh petani membuat rencana kegiatan dan rencana usaha pertanian kooperatif yang layak secara ekonomi. Di dalam rencana usaha juga diperhitungkan resiko usaha dan tindakan bersama untuk mengurangi resiko. Melalui pertanian kooperatif, kelompok akan meningkatkan efisiensi usaha, produktivitas, dan perbaikan kualitas produksi dengan perbaikan varietas, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta pengelolaan pascapanen. Perbaikan varietas dilakukan dengan mengembangkan usaha penangkaran benih bermutu di tingkat lokal oleh petani penangkar benih.

PK juga membantu anggotanya untuk meningkatkan akses terhadap sumber pembiayaan baik melalui simpan pinjam maupun ke lembaga keuangan. PK juga bisa mengembangkan jasa seperti alat dan mesin pertanian untuk pengolahan lahan dan pascapanen sehingga meningkatkan efisiensi, rendemen, kualitas, dan nilai tambah produk baik kepada anggota maupun petani non-anggota.

Dalam upaya memperbaiki ketahanan pangan dan pendapatan anggotanya, PK mengembangkan lumbung pangan dan meningkatkan akses pasar bersama yang lebih adil. Lumbung pangan keluarga maupun kelompok diperlukan untuk menjamin agar para anggota memiliki cadangan pangan yang cukup hingga musim panen berikutnya. Peningkatan pendapatan dilakukan dengan peningkatan nilai tambah dan memperpendek jalur distribusi serta meningkatkan kemampuan tawar bersama terhadap tekanan harga dari para pedagang. Selain itu, PK juga bisa mendorong diversifikasi usahatani dan produk pangan serta diversifikasi konsumsi pangan serta mendorong partisipasi industri pangan di pedesaan.

Sementara peningkatan akses pemasaran yang lebih adil dilakukan untuk meningkatkan pendapatannya dan meningkatkan kemampuan tawar bersama terhadap tekanan harga dari para pedagang. CF berupaya untuk meningkatkan nilai tambah hasil panen serta memperpendek jalur distribusi komoditas, dengan memperkecil jumlah pelaku pemasaran dalam rantai pemasaran. Peningkatan harga jual dilakukan dengan mengolah hasil panen menjadi pangan olahan, atau gabah menjadi beras dengan menggunakan penggiling padi sendiri maupun menyewa hingga pengepakan. Salah satu solusi untuk memperpendek jalur pemasaran adalah membangun suatu pola kemitraan antara CF dengan institusi pemasaran yang difasilitasi oleh pemerintah maupun upaya CF membangun jalur pemasarannya sendiri.

Selain itu, CF juga bisa mendorong diversifikasi usahatani dan produk pangan serta diversifikasi konsumsi pangan serta mendorong partisipasi industri pangan di pedesaan. Meningkatkan peran lumbung desa tidak hanya di bidang pangan saja tetapi juga di bidang lain seperti sarana, penyuluhan, modal kelompok dan lainnya, serta menjamin kelancaran mobilitas pangan antar daerah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar