RSS

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

mengelola posisi produsen minyak sawit

MENGELOLA POSISI PRODUSEN MINYAK SAWIT TERBESAR DUNIA SECARA BERKELANJUTAN





MENGELOLA POSISI PRODUSEN MINYAK SAWIT

TERBESAR DUNIA SECARA BERKELANJUTAN[1]

Oleh

Prof.Dr.Ir.Bungaran Saragih, MEc

Guru Besar Emeritus Departemen Agribisnis

Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Sejak tahun 2007 yang lalu, Indonesia telah berhasil menjadi produsen minyak sawit (CPO) terbesar di dunia. Dengan produksi 17 juta ton waktu itu. Indonesia menguasai pangsa 44 persen cpo dunia, mengungguli Malaysia dengan pangsa 41 persen.

Pada saat yang sama, juga sedang terjadi perubahan pangsa CPO dalam pasar minyak nabati dunia. Minyak kedele yang hampir 100 tahun menguasai pasar minyak nabati dunia, digeser minyak sawit. Sekitar 33 persen produksi minyak nabati dunia tahun 2007 bersumber dari minyak sawit, sementara pangsa minyak kedele sekitar 29 persen berada pada urutan kedua.

Keberhasilan menjadi produsen CPO terbesar, jelas membanggakan sekaligus memiliki tantangan baru. Membanggakan, karena saat ini hanya kelapa sawit yang berhasil mencapai prestasi tingkat dunia dan membuat Indonesia dikenal secara Internasional. Dan prestasi yang demikian dihasilkan dari kerja keras Indonesia khususnya dalam 100 tahun terakhir, yang merupakan kolaborasi produktif antar perkebunan rakyat, perusahaan Negara dan perusahaan swasta asing dan domestik.

Prestasi tersebut melahirkan tantangan baru yakni bagaimana mempertahankannya sekaligus meningkatkan kualitas prestasi (naik kelas) secara berkelanjutan. Berhasil menjadi produsen CPO terbesar dunia masih lebih mudah (meskipun) sulit) daripada menjadi produsen CPO terbesar dunia yang berhasil. Kinerja menjadi produsen CPO terbesar yang berhasil apalagi ingin naik kelas secara berkelanjutan memerlukan seni tersendiri, paradigm baru, strategi dan kebijakan baru serta budaya baru. Hal ini perlu diingatkan mengingat pengalaman kita dimasa lalu membuktikan bahwa banyak komoditas yang berhasil menjadi salah satu produsen terbesar (rempah-rempah, gula, kayu, udang, karet) namun bukan hanya gagal dipertahankan, sebagian malah berubah menjadi importer, karena gagal “tukar gigi” paradigm, kebijakan dan budaya. Pengalaman tersebut hendaknya tidak terulang lagi dalam minyak sawit kedepan.

Paradigma dan Strategi Baru

Keberhasilan peningkatan produksi CPO sehingga meraih produsen terbesar dunia, sebagian besar disumbang oleh peningkatan luas areal kebun sawit. Sekitar 80 persen peningkatan produksi CPO selama ini diberhasilkan dari peningkatan luas areal, sedangkan 20 persen sisanya disumbang peningkatan produktivitas.

Untuk mempertahankan produksi CPO terbesar dunia secara berkelanjutan, peningkatan produksi CPO melalui cara memperluas areal kebun sudah sangat terbatas, khusunya akibat ketersediaan lahan yang makin terbatas. Secara teknologi memang masih terbuka untuk memperluas ke daerah daratan yang lebih tinggi, namun keseimbangan penggunaan lahan (land use) antar komoditas dan antar sector yang harmonis, perlu dipertimbangkan. Selain itu, cara peningkatan produksi CPO dengan perluasan areal, akan semakin beresiko khususnya akibat anomaly iklim (perubahan iklim) yang makin tidak bersahabat di masa yang akan datang.

Cara yang paling efektif dan efisien untuk meningkatkan produksi CPO ke depan adalah melalui peningkatan produktifitas per hektar kebun yang ada (existing area). Ruang gerak kreatifitas untuk meningkatkan produktifitas masih terbuka luas ke depan. Pada tahun 2010 (Ditjen Perkebunan, 2010) produktifitas kebun sawit Indonesia saat ini masih relative rendah yakni 3,4 ton CPO / Ha (perkebunan rakyat) dan 4 ton CPO / Ha (perusahaan perkebunan), atau baru mencapai sekitar 50 persen dari potensi varietas Kelapa Sawit yang ada.

Dengan perkataan lain, untuk mempertahankan sebagai produsen CPO terbesar dunia secara berkelanjutan ke depan, paradigma yang selama ini yang “mengejar” lahan, perlu dirubah dan naik kelas menjadi paradigma mengejar produktifitas. Dengan paradigma baru tersebut, dengan luas areal kebun sawit saat ini 8 juta hektar Indonesia akan dapat menghasilkan CPO sebesar 60 juta ton dimasa yang akan dating. Dalam kaitan dengan hal ini, inisiatif GAPKI Sumatera Utara yang mencanangkan program 35-26 (produktivitas TBS 35 ton / ha, rendemen 26 persen) dalam rangka 100 tahun Perkebunan Kelapa Sawit, merupakan program yang on the right tract. Program 35-26 tersebut perlu segera diimplementasi pada level kebun baik perusahaan perkebunan maupun perkebunan rakyat.

Simultan dengan strategi peningkatan produktivitas tersebut, untuk naik kelas menjadi pemain global pasar minyak sawit dunia, jangan hanya puas menjadi produsen cpo terbesar (seller’s market), melainkan harus merebut pasar produk minyak sawit (buyer’s market). Untuk itu, perlu percepatan pendalaman industri (deepening industry) baik kehulu (UP stream), ke hilir (down-stream), dan jasa (sevice for agribusiness) kelapa sawit. Kita perlu merubah paradigma dari hanya membangun perkebunan kelapa sawit (on-farm) kepada paradigm baru yakni membangun agribisnis minyak sawit.

Pendalaman ke hulu yakni mengembangkan industri pembibitan, industri pupuk dan pestisida, industri alat dan mesin sangat diperlukan baik untuk mendukung peningkatan produktivitas maupun untuk menjamin kelanjutan agribisnis minyak sawit khususnya membangun kemampuan dan kecepatan merespon perubahan pasar dan iklim ke depan. Perubahan tehnologi (inovasi) sebagai sumber pertumbuhan cpo akan lebih banyak bersumber dari agribisnis hulu tersebut.

Pendalaman ke hilir (down-stream agribusiness) perlu dipercepat untuk mengolah cpo menjadi produk-produk setengah jadi (semi-finish) maupun produk jadi (finish product). Indonesia jangan hanya puas menjadi produsen terbesar bahan mentah (seller’s market) tetapi harus merebut menjadi produsen terbesar produk-produk minyak sawit (buyer’s market). Selain untuk merebut nilai tambah yang besar pada agribisnis hilir, pendalaman ke hilir tersebut juga untuk menyelamatkan produksi cpo sekaligus mengembangkan kemampuan merespons perubahan pasar secara berkelanjutan.

Pendalaman kehulu, kehilir dan peningkatan produktivitas pada on-farm tersebut hanya akan berhasil secara berkesinambungan bila pengembangan penyedia jasa (service for agribusiness) dilakukan secara simultan. Pengembangansistem logistik (transportasi, pelabuhan), perdagangan domestik dan internasional infrastruktur, R & D, peningkatan SDM, kebijakan tata ruang, kepastian hukum, keamanan dan lain-lain sangat diperlukan. Sumber pertumbuhan yang berkelanjutan juga akan lahir dari penyedia jasa ini.

Asosiasi agribisnis minyak sawit seperti GAPKI, APKSINDO, APOLIN, dan lain-lain perlu diperkuat dan memiliki focus masing-masing. Asosiasi tersebut jangan terkotak-kotak, rebutan kavling, berorientasi jangka pendek melainkan hendaklah berfikir dan berilaku integrative, berjangka panjang, kreatif dan kerjasama. Asosiasi harus menjadi bagian dari solusi bukan bagian dari masalah.

APKSINDO ke depan perlu lebih diperkuat dan menjadi solusi bagi masalah yang dihadapi perkebunan rakyat. Kedepan, dengan kecenderungan perkembangan perkebunan kelapa sawit khususnya dalam 10 tahun terakhir, perkebunan rakyat akan menjadi pemain utama dalam on-farm. Oleh sebab itu APKSINDO sebagai organisasi collective action perkebunan rakyat akan memainkan peran penting khususnya dalam mempercepat peningkatan produktivitas secara kolektif.

Dukungan Kebijakan Pemerintah

Keberhasilan Indonesia menjadi produsen cpo terbesar dunia, selain keberhasilan pelaku perkebunan sawit juga keberhasilan pemerintah. Setelah berhasil mengantar perkebunan sawit menjadi produsen cpo terbesar dunia, tugas pemerintah berikutnya adalah memfasilitasi, mempromosikan, menciptakan iklim kondusif agar perkebunan sawit kita berhasil menjadi pemain global secara berkesinambungan.

Mengingat perkebunan sawit melibatkan 40 persen perkebunan rakyat, melibatkan didalamnya jutaan tenaga kerja, menghidupi jutaan UKMK baik langsung maupun tidak langsung, melibatkan 22 provinsi (dari 33 Provinsi), menghasilkan devisa (Netekspor) yang besar. Sangat beralasan untuk pemerintah memberi perhatian serius pada agribisnis minyak sawit ini. Apalagi saat ini, hanya minyak sawit yang berpeluang besar menjadikan Indonesia menjadi pemain global. Jika gagal mengantar agribisnis minyak sawit menjadi pemain global mungkin tidak ada lagi yang dapat kita jadikan sebagai pemain global dimasa yang akan dating.

Untuk mendukung dan memberhasilkan agribisnis minyak sawit menjadi pemain global secara berkesinambungan, kebijakan perdagangan internasional haruslah berbah kepada regim pro-ekspor. Sampai saat ini kebijakan perdagangan internasional kita masih menganut regim pro-impor atau anti ekspor. Kebijakan suku bunga yang tinggi dan tidak kompetetif dengan Negara lain, kebijakan kurs yang menguat secara artificial dan kebijakan pajak ekspor CPO (BK) secara netto adalah anti ekspor. Hanya karna harga CPO yang tinggi dipasar internasional dan biaya produksi CPO yang kompetitif dengan minyak nabati lain, yang menyebabkan ekspor CPO kita meningkat selama ini.

Kebijakan BK yang dimaksudkan untuk mendorong industri hilir tampaknya perlu dievaluasi. Kebijakan tersebut telah berlangsung lebih dari 10 tahun namun belum berhasil mendorong industri hilir. Penyebabnya adalah akibat suku bunga yang tinggi dan tidak kompetitif serta ketersediaan infrastruktur yang belum memadai didalam negeri. Oleh sebab itu, pemerintah perlu lebih dahulu menurunkan suku bunga, mempercepat pembangunan infrastruktur khususnya yang terkait dengan agribisnis sawit dan setelah itu baru menempuh kebijakan pajak ekspor.

Selain kebijakan yang pro ekspor, kebijakan tata ruang perlu ada kepastian dan mendukung agribisnis minyak sawit. Kebijakan tata ruang merupakan hak dan kewajiban pemerintah ( Ekskutif & Legislatif), dan tidak dapat dialihkan kepada dunia usaha. Dukungan dan kepastian tata ruang bagi agribisnis minyak sawit sangat diperlukan segera untuk mempercepat pengembangan agribisnis yang lebih modern kedepan.

Dukungan pemerintah yang tak kalah pentingnya adalah kepastian hukum dan keamanan. Jaminan keamanan berusaha merupakan hal yang mendasar bagi berkembangnya dunia usaha sekaligus bukti kehadiran pemerintah dalam bernegara.

Sejarah membuktikan bahwa bila kebijakan dan dukungan pemerintah promotif pada perkebunan kelapa sawit, terbukti berhasil menempatkan Indonesia terhormat menjadi produsen CPO terbesar dunia. Oleh karena itu, memasuki abad kedua perkebunan kelapa sawit Indonesia kedepan, dukungan kebijakan pemerintah yang promotif akan berhasil mengantar agribisnis minyak sawit Indonesia menjadi pemain global atau menjadi “Raja” minyak sawit dunia.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar