RSS

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

NILAH.COM, Bandar Lampung Di satu sisi, laju industri sawit membuat perekonomian lebih bertenaga. Tapi, di sisi lain, merebaknya perkebunan sawit menjepit lahan pertanian. Krisis bahan pangan pun mulai terbayang. Itu terjadi di Lampung.
Keuntungan dari menggarap perkebunan sawit memang menggiurkan. Harga CPO (crude palm oil) yang dihasilkan dari sawit sedang bagus. Peminatnya juga membludak. Situasi itu, tak ayal, mempengaruhi perilaku para petani di Lampung.
Terdorong daya tarik sawit, para petani Lampung kini mulai banting setir. Mereka lebih memilih membudidayakan sawit ketimbang terus berkutat di lahan pertanian untuk bercocok tanam bahan pangan.
Pergeseran itu jelas bukan tanpa konsekuensi. Kini, minimal, ancaman krisis pangan di Lampung kian dekat di depan mata. Sebagian lahan pertanian, yang hasilnya dijadikan salah satu andalan produk pangan nasional, sudah berubah jadi perkebunan sawit.
Perlahan tapi pasti, krisis bahan pangan di Lampung mulai mengemuka. Produksi dari sektor pertanian terus menurun. Dan, karena stok bahan pangan berkurang, harganya otomatis melonjak tak keruan. Harga singkong, misalnya, meroket dari Rp 1.500 jadi di atas Rp 10.000 per kilogram.
Dengan harga semahal itu, singkong di Lampung mulai sulit ditemukan. Apalagi, para petani pun cenderung lebih getol menggarap kebun sawit ketimbang lahan singkong.
"Jumlah pasokan singkong ke pabrik tapioka merosot dari waktu ke waktu. Kemerosotannya mencapai 10% per bulan. Saya khawatir, suatu saat pasokan singkong habis," ujar seorang petugas di pabrik tapioka Bumi Lampung Permai kepada INILAH.COM belum lama ini.
Singkong selama ini masih dijadikan bahan pangan cadangan oleh sebagian besar warga Lampung. Ketika persediaan beras habis dan harganya pun mahal, petani mengolah singkong atau gaplek (singkong dikeringkan) untuk dijadikan nasi. Jenis makanan ini disebut oyek atau tiwul.
Ketika produksi singkong terus merosot, Lampung jadi dalam bahaya. Sebab, 80% dari total 7,5 juta penduduk Lampung tinggal di pedesaan. Dan, 75% dari penduduk pedesaan itu adalah petani. Sisanya pedagang dan pekerjaan lain. Itu, artinya, mayoritas penduduk Lampung masih menjadikan singkong sebagai bahan pangan alternatif setelah beras.
Petani Lampung sendiri belum menyadari bahwa mengalihkan lahan pertanian tanaman pangan ke sawit mengandung risiko besar. Menanam sawit tidak seperti menanam singkong. Butuh waktu panjang untuk memetik hasilnya. Hasil kebun sawit bisa dinikmati setelah enam tahun berinvestasi. Menanam dan memanen singkong hanya butuh waktu enam bulan.
Selama enam tahun menanam sawit, petani harus mengeluarkan biaya pemeliharaan agar tanamannya tetap hidup dan kelak bisa dipanen. Inilah yang tidak disadari petani meski sudah banyak yang gagal di tengah jalan karena tidak sanggup memelihara sawit sampai masa panen.
"Banyak juga kebun sawit petani yang akhirnya dijual dan dibeli murah oleh cukong karena petani terbelit utang selama dua tahun memelihara sawit," kata Warman, 48, petani sawit di Terbanggi Besar, Lampung Tengah, sekitar 50 kilometer arah utara Bandar Lampung.
Kejadian itu, sayangnya, tak membuat petani lain jera. Mereka tetap nekat membuka lahan sawit di puluhan ribu hektare tanah yang mereka sewa dari pemerinrtah daerah setempat setelah lahan itu dibiarkan tidak produktif.
Puluhan ribu hektare lahan itu tadinya disewa PT Pago, perusahaan Jepang yang membudidayakan singkong untuk diolah jadi tapioka. Tapi, kini, mereka tak lagi memproduksi tapioka. [I3]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar